Wednesday, March 9, 2011

Bai' Najasy

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya (HR Muslim).”

Radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan bahwasanya  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang najas(HR Bukhari)

Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, “Nâjisy (pelaku najasy) adalah pemakan harta riba dan pengkhianat.” (HR Bukhari) 

Najasy ditafsirkan oleh banyak Ulama dengan najasy dalam jual beli. Yaitu menaikkan harga suatu barang yang dilakukan oleh orang yang tidak berminat membelinya untuk kepentingan penjual supaya untungnya lebih besar atau untuk merugikan pembeli. Termasuk praktek najasy yaitu memuji barang dagangan seorang penjual supaya laku atau menawarnya dengan harga yang tinggi padahal dia tidak berminat. Apa yang dilakukannya hanya untuk mengecoh pembeli sehingga tidak merasa kemahalan kalau jadi beli. Artinya didalam Bai' najasy ada terkandung unsur penipuan, dan pembeli tidak mendapatkan informasi yang tepat karena termanipulasi.

Tuesday, March 8, 2011

Taghrir (Gharar)


Gharar secara bahasa berarti khatar (resiko, berbahaya), dan tahgrir berarti melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Dikatakan gharrara binafsihi wa malihi taghriran berarti ‘aradahuma lilhalakah min ghairi an ya’rif (jika seseorang melibatkan diri dan hartanya dalam wilayah gharar maka itu berarti keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang tidak diketahui olehnya).

Lafal gharar dari segi tata bahasa merupakan isim (kata benda). Gharar dalam terminologi para ulama fiqh memiliki beragam difinisi, antara lain:

Gharar dikategorikan dan dibatasi terhadap sesuatu yang tidak dapat diketahui antara tercapai dan tidaknya suatu tujuan, dan tidak termasuk di dalamnya hal yang majhul (tidak diketahui). Seperti definisi yang dipaparkan oleh Ibn Abidin yaitu, “gharar adalah keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi”.

Gharar dibatasi dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), dan tidak termasuk di dalamnya unsur keraguan dalam pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni mazhab Dhahiri. Ibn Haz mengatakan “unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia beli dan penjual apa yang ia jual.

Kombinasi antar kedua pendapat tersebut di atas, yaitu gharar meliputi dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya dan juga atas sesuatu yang majhul (tidak diketahui). Contoh dari definisi ini adalah yang dipaparkan oleh Imam Sarkhasi: “gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh.

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.


Tadlis (penipuan)

Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak ( unknown to one party). Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak, mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa ditipu/dicurangi karena ada sesuatu yang unknown to one party”


Ada 4 (empat) hal dalam transaksi Tadlis, yaitu :
     Kuantitas, mengurangi takaran
     Kualitas, menyembunyikan kecacatan barang
     Harga, memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar
     Waktu, menyanggupi delivery time yang disadari tidak akan sanggup memenuhinya

Dalam ke empat bentuk tadlis tadi, semuanya bersifat melanggar prinsip rela sama rela (An Taradin Minkum). Keadaan rela sama rela yang dicapai bersifat sementara yakni sementara pihak yang ditipu belum sadar. Disaat yang ditipu telah sadar bahwa dirinya tertipu, maka ia pasti tidak merasa rela.

Identifikasi Transaksi Terlarang

Kita mengenal 2 kaidah hukum asal dalam syariah islam. Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang kecuali yang ada ketentuannya didalam Al-qur'an dan Al-hadist. Sedangkan dalam urusan muamalah semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.

Ini artinya, ketika ada bentuk transaksi atau kebiasaan yang muncul dalam bermuamalah dan belum dikenal sebelumnya didalam islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dali Al-Qur'an dan Al-Hadist yang melarangnya.

Penyebab sebuah transaksi menjadi terlarang ditentukan oleh faktor2 berikut:

1. Haram Dzat nya
    Transaksi dilarang karena objeknya terlarang. ex: Minuman keras, bangkai, babi, dll. Dengan demikian jika terjadi transaksi jual beli barang2 haram tersebut dengan akad murabahah, secara otomatis transaksi ini menjadi haram.

2. Haram selain Dzatnya
    Transaksi dianggap terlarang meski objeknya tidak haram dikarenakan melanggar 2 prinsip, yaitu:
    a. Melanggar prinsip "An Taradin Minkum"
        Yang dimaksud adalah adanya sebuah keadaan rela sama rela sehingga tidak ada salah satu pihak yang
         merasa dirugikan. yang termasuk dalam kategori ini adalah Tadlis (Penipuan)
    b. Melanggar Prinsip "La Tazhlimuna wa la Tuzhlamuna"
        Yang dimaksud adalah didalam sebuah transaksi jangan menzalimi dan dizalimi. praktik2 yang
         melanggar prinsip ini adalah:
         1. Taghrir (gharar)
         2. Ikhtikar
         3. Bai' Najasy
         4. Riba
         5. Maysir
         6. Risywah

3. Tidak sah (lengkap) akadnya.
    Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram dzatnya ataupun haram selain dzatnya, tidak serta merta menjadikan transaksi tersebut halal. Masih ada kemungkinan bila akad atas transaksi tersebuit tidak sah atau tidak lengkap. suatu transaksi dapat dikatakan demikian jika:
    a. Rukun dan syarat tidak terpenuhi
    b. Ta'alluq
    c. Terjadi 2 akad dalam 1 transaksi